Investasi EBT Dorong Ekonomi Hijau, Potensi Listrik Terbarukan Besar

Kamis, 06 November 2025 | 12:10:03 WIB
Investasi EBT Dorong Ekonomi Hijau, Potensi Listrik Terbarukan Besar

JAKARTA - Indonesia semakin serius mendorong pengembangan energi bersih melalui sektor energi baru terbarukan (EBT). 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi investasi di sektor EBT Indonesia pada semester I 2025 telah mencapai sekitar US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 21,64 triliun. Angka ini menunjukkan minat pelaku usaha terhadap energi hijau terus meningkat seiring dorongan pemerintah.

Tahun 2025, pemerintah menargetkan investasi EBT sebesar US$ 1,5 miliar, sedikit lebih tinggi dibanding realisasi 2024 yang mencapai US$ 1,49 miliar atau Rp 24,04 triliun. 

Target ini sejalan dengan upaya meningkatkan bauran energi hijau nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Tren Investasi Listrik Hijau di Indonesia

Data dari Climate Policy Initiative (CPI) mengenai Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia 2019–2023 menunjukkan total investasi sektor ketenagalistrikan selama lima tahun terakhir mencapai US$ 38,02 miliar, atau rata-rata US$ 7,6 miliar per tahun. 

Khusus untuk energi baru terbarukan, rata-rata investasi tahunan mencapai US$ 1,79 miliar, menegaskan tren stabil dan positif bagi pengembangan energi hijau.

Fajar Wibhiyadi, Direktur Utama Indonesia Commodity & Derivative Exchange (ICDX) atau Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), menekankan bahwa instrumen sertifikat energi terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC) menjadi pendorong penting investasi di sektor EBT.

“Adanya pendapatan tambahan ini tentunya bisa mempercepat pengembalian modal investasi (payback period),” ujar Fajar dalam keterangannya, Kamis (6/11/2025).

REC berfungsi sebagai insentif tambahan bagi pengembang pembangkit listrik berbasis EBT, sehingga menarik lebih banyak investor untuk menanamkan modal.

Renewable Energy Certificate (REC) sebagai Insentif

REC merupakan sertifikat yang diterbitkan atas produksi listrik dari pembangkit EBT sesuai standar nasional dan/atau internasional. Setiap REC setara dengan 1 MWh listrik. Di Indonesia, perdagangan REC dijalankan melalui ICDX atau BKDI, yang infrastrukturnya terintegrasi dengan sistem registri global, seperti Evident I-REC dan APX TIGRs.

Fajar menjelaskan, REC bisa disebut sebagai “sweetener” bagi pelaku usaha karena memberikan pendapatan tambahan selain tarif listrik, mempercepat payback period, dan meminimalisir risiko investasi.

“Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT seperti pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya (matahari), tenaga panas bumi (geothermal), tenaga bayu (angin), serta tenaga sampah,” terang Fajar. Potensi ini menjadi alasan Indonesia menarik bagi investor domestik maupun internasional.

Dampak Positif terhadap Ekonomi dan Lingkungan

Investasi di sektor EBT tidak hanya berdampak pada energi bersih, tetapi juga memberikan efek ekonomi yang signifikan. Selain menciptakan lapangan kerja, sektor ini mendorong pertumbuhan industri pendukung, seperti manufaktur peralatan energi terbarukan, konstruksi pembangkit, dan teknologi digital untuk sistem energi.

Dukungan pemerintah melalui regulasi, kemudahan perizinan, dan insentif fiskal turut memperkuat ekosistem investasi EBT. Adanya mekanisme REC membuat investasi di pembangkit listrik EBT lebih menarik dibanding pembangkit konvensional. Hal ini sejalan dengan tren global di mana negara-negara maju dan berkembang mulai beralih ke energi hijau.

Secara makro, sektor EBT menjadi pilar penting dalam menjaga ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Selain itu, investasi energi hijau juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon, mendukung komitmen Indonesia dalam agenda energi bersih global, dan memitigasi perubahan iklim.

Prospek dan Tantangan Investasi EBT

Meskipun tren investasi EBT menunjukkan kenaikan, tantangan tetap ada. Investor perlu menilai risiko terkait pengembalian modal, harga energi global, dan stabilitas regulasi. 

Namun, dengan adanya REC dan dukungan pemerintah, investor mendapat perlindungan tambahan sehingga proyek lebih layak secara finansial.

Selain itu, diversifikasi sumber energi, mulai dari tenaga air, surya, bayu, geothermal, hingga tenaga sampah, memberi fleksibilitas dalam pengembangan pembangkit dan memaksimalkan potensi domestik. 

Dengan mekanisme perdagangan REC, investor dapat memanfaatkan pendapatan tambahan yang mengurangi risiko bisnis dan mempercepat pengembalian modal.

Fajar menegaskan bahwa REC merupakan insentif eksklusif bagi EBT, sehingga pihak yang mengembangkan pembangkit konvensional tidak bisa menikmati manfaat ini. Hal ini menegaskan posisi EBT sebagai sektor prioritas bagi investasi yang menguntungkan sekaligus ramah lingkungan.

Realisasi investasi EBT sebesar US$ 1,3 miliar pada semester I 2025 menunjukkan langkah positif bagi Indonesia dalam mendorong energi hijau. 

Dengan adanya instrumen pendukung seperti REC, potensi sumber daya alam yang melimpah, dan dukungan regulasi pemerintah, sektor EBT menjadi semakin menarik bagi investor.

Sektor ini tidak hanya menghasilkan listrik bersih, tetapi juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan keberlanjutan lingkungan. 

Tren investasi EBT yang meningkat menjadi indikator bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam mencapai target bauran energi hijau nasional dan memenuhi komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon.

Dengan prospek yang positif dan dukungan insentif seperti REC, sektor EBT siap menjadi penggerak utama ekonomi hijau Indonesia, mendorong pertumbuhan berkelanjutan, dan memastikan keberlanjutan energi bagi generasi mendatang.

Terkini