Veronica Tan Ungkap Akar Ketimpangan Gender di Indonesia: Ekonomi Lemah dan Patriarki

Selasa, 04 November 2025 | 15:18:34 WIB
Veronica Tan Ungkap Akar Ketimpangan Gender di Indonesia: Ekonomi Lemah dan Patriarki

JAKARTA - Isu kesetaraan gender kembali menjadi perhatian serius pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Wakil Menteri PPPA, Veronica Tan, menegaskan bahwa ketimpangan gender di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama, yaitu ekonomi lemah dan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.

Menurut Veronica, kedua faktor tersebut menjadi penyebab utama perempuan sulit mendapatkan kesempatan setara dalam pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi publik. Ia menilai, selama akar permasalahan ini belum disentuh secara sistemik, kesetaraan gender hanya akan menjadi wacana tanpa perubahan nyata.

“Dalam banyak kasus kekerasan dan perdagangan orang, akar masalahnya selalu ekonomi. Perempuan di daerah terpaksa mencari jalan keluar lewat jalur berisiko, karena tidak punya pilihan ekonomi,” kata Veronica dalam diskusi Percepatan Pengarusutamaan Gender lintas kementerian dan lembaga di Jakarta, Selasa, 4 November 2025.

Pernyataan itu menyoroti bahwa kemiskinan seringkali memaksa perempuan mengambil risiko besar untuk bertahan hidup. Ia menyebut, kondisi tersebut menjadi gambaran bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan harus menjadi prioritas dalam kebijakan nasional.

Perempuan Desa Bekerja Keras tapi Tak Diakui Sistem

Dalam diskusi tersebut, Veronica mencontohkan hasil pengamatannya saat kunjungan ke Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menemukan banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga melalui kegiatan menenun, beternak, dan bertani, namun secara administratif mereka tetap tercatat sebagai ibu rumah tangga.

“Perempuan sudah bekerja, tapi sistem tidak mengakui. Mereka tidak bisa mengakses bantuan, karena syarat administrasi tidak memadai,” ujarnya dengan nada prihatin.

Ia menjelaskan bahwa banyak program bantuan pemerintah tidak bisa menjangkau perempuan di desa karena mereka tidak terdata secara formal sebagai pekerja. Hal ini membuat program-program seperti perhutanan sosial, pemberdayaan sosial, hingga UMKM sering kali tidak tepat sasaran.

Menurut Veronica, ketidaksetaraan ini bukan hanya persoalan administratif semata, melainkan juga mencerminkan bias struktural yang sudah lama tertanam dalam kebijakan publik. Akibatnya, kontribusi ekonomi perempuan di tingkat desa tidak tercatat, sehingga peran mereka kerap dianggap tidak penting.

“Ketika perempuan tidak diakui sebagai pekerja, mereka tidak punya akses ke sumber daya ekonomi yang memadai. Padahal, mereka yang menopang ekonomi keluarga,” katanya menambahkan.

Kondisi tersebut, lanjutnya, menciptakan lingkaran ketidakadilan yang terus berulang. Perempuan yang bekerja keras tetap terjebak dalam status sosial yang rendah, sementara laki-laki lebih diakui dalam struktur sosial maupun ekonomi.

Budaya Patriarki dan Hambatan Sosial yang Masih Kuat

Selain persoalan ekonomi, Veronica juga menyoroti faktor sosial dan budaya sebagai penghambat utama kemajuan perempuan di Indonesia. Ia menilai budaya patriarki masih begitu kuat, terutama dalam lingkungan keluarga dan masyarakat desa.

“Banyak perempuan diajarkan menerima saja, tidak berani bicara. Padahal, mereka adalah penggerak ekonomi nyata di desa,” ucapnya. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana norma sosial yang bias gender membuat perempuan enggan menyuarakan pendapat atau menuntut hak mereka.

Veronica menilai, pola asuh dan pandangan tradisional yang menempatkan perempuan di posisi subordinat harus segera diubah. Pendidikan kesetaraan gender, menurutnya, perlu dimulai sejak dini agar generasi berikutnya tidak lagi terjebak dalam pola pikir patriarkis.

Budaya patriarki juga berdampak pada maraknya kekerasan berbasis gender di Indonesia. Banyak perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau eksploitasi karena merasa tidak punya kekuatan untuk menolak atau melapor.

Ia menegaskan, perubahan budaya tidak bisa dilakukan hanya dengan kampanye seremonial. Diperlukan pendekatan pendidikan, sosial, dan hukum secara bersamaan agar masyarakat memahami pentingnya menghargai perempuan sebagai individu yang memiliki hak yang sama.

Perlu Perubahan Sistemik dan Pengakuan Formal Terhadap Kerja Perempuan

Veronica menekankan bahwa kesetaraan gender tidak akan tercapai jika sistem negara belum mampu mengakui kerja perempuan secara formal. Ia mendorong agar seluruh kementerian dan lembaga meninjau ulang regulasi yang masih bias gender.

Menurutnya, data kependudukan dan ketenagakerjaan harus mencerminkan realitas bahwa banyak perempuan bekerja di sektor informal. Tanpa pengakuan tersebut, perempuan akan terus berada di luar jangkauan kebijakan dan bantuan pemerintah.

“Kalau akar masalahnya ekonomi dan budaya, solusi harus sistemik. Kita harus ubah cara pandang dan regulasinya sekaligus,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa perubahan tidak hanya bisa bergantung pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dan sektor swasta juga harus ikut terlibat dalam menciptakan ekosistem yang mendukung perempuan agar berdaya secara ekonomi dan sosial.

Selain itu, Veronica juga menyoroti pentingnya sinergi lintas kementerian dalam mempercepat pengarusutamaan gender. Setiap kebijakan yang disusun oleh pemerintah, katanya, harus melewati kajian dampak gender agar tidak memperkuat ketimpangan yang sudah ada.

“Kalau perempuan bisa berdiri di atas kaki sendiri secara ekonomi, maka mereka tidak mudah menjadi korban eksploitasi. Itulah mengapa pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi kunci,” jelasnya.

Harapan untuk Perubahan dan Langkah Nyata ke Depan

Wakil Menteri PPPA tersebut menutup diskusinya dengan ajakan kepada seluruh pihak agar bersama-sama menghapus akar ketimpangan gender dari hulu hingga hilir. Ia berharap agar isu kesetaraan tidak lagi berhenti pada wacana, melainkan diwujudkan melalui tindakan konkret yang menyentuh kehidupan perempuan di semua lapisan masyarakat.

Menurutnya, upaya memperkuat ekonomi perempuan harus berjalan beriringan dengan perubahan budaya yang menghargai peran dan suara mereka. Ketika sistem sudah mengakui kerja perempuan, maka akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan keadilan sosial akan terbuka lebih luas.

“Perempuan tidak butuh dikasihani, mereka hanya ingin diakui. Karena selama ini mereka sudah bekerja keras untuk keluarga dan bangsa,” ujar Veronica menutup pernyataannya dengan tegas.

Ia menilai, keberhasilan pembangunan nasional harus diukur dari seberapa besar negara mampu mengangkat harkat dan martabat perempuan. Dengan menghapus ketimpangan ekonomi dan menumbuhkan budaya kesetaraan, Indonesia akan melangkah lebih dekat menuju masyarakat yang adil dan berkeadaban.

Pernyataan Veronica Tan menjadi pengingat bahwa kesetaraan gender bukan isu perempuan semata, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Selama perempuan masih terpinggirkan dalam sistem, kemajuan bangsa akan selalu tertunda.

Terkini

Aplikasi Jualan Online Tanpa Modal dan Stok Barang 2025

Selasa, 04 November 2025 | 23:30:34 WIB

6 Kelebihan dan Kekurangan Bank BCA yang Perlu Diketahui

Selasa, 04 November 2025 | 23:30:34 WIB

Apakah Barang di Zalora Original? Yuk Kita cari tahu!

Selasa, 04 November 2025 | 23:30:33 WIB